Senin, 13 April 2015

Romantisisme borjuis kecil

Banyak hal yang mewarnai indonesia saat ini, negara yang kita tau sedang dimabuk oleh Demokrasi liberal. mulai dari sistem ekonomi hingga arus media yang kian mengendalikan berita. semuanya bebas dalam kacamata demokrasi, esensinya sudah jauh berbeda dengan apa yang di elukan olah sang proklamator, dulu. Soekarno sebagai pemimpin tertinggi pada era demokrasi terpimpin menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan indonesia, prosedur pemungutan suara dalam perwakilan rakyat dinyatakan kurang efektif dalam lembaga perwakilan rakyat. dan dia memperkenalkan apa yang disebut dengan “permusyawaratan untuk mufakat”.

 Lain dulu lain sekarang, buah pikiran dari soekarno mulai sedikit demi sedikit memudar, bahkan berbagai macam teori menyangkalnya. Berbagai macam kelas filsafat dan berbagai aliran politik memadati panggung sejarah indonesia, semuanya hampir menyesakan tenggorokan jikalau pecandunya mulai berdialektika.

Jauh di negeri sebarang kita pernah belajar komunis dan sosialis dari seorang guru filsafat bernama marx dan engels. dan didalam sejarah indonesia banyak ditemukan ajaran marxisme lewat tulisan tokoh seperti Tan malaka, semaoen, hingga DN. aidit. Tengok lagi ke era rejim soeharto, setelah berhasil melumpuhkan Marxisme selama hampir 30 tahun lamanya, sampai ketika sewaktu saya masih di bangku Sekolah dasar musti dicekoki propaganda anti komunis lewat film G30s pki yang menjadi titik awal kehancuran Ideologi kiri yang di haramkan sang penguasa pada saat itu.

komplek memang permasalahan negeri ini, jika harus di gambarkan dalam bentuk wujud manusia, mungkin gambaran yang cocok adalah manusia yang semakin kurus dengan koreng melepuh semakin hari semakin membusuk.

Kini, pada masa sekarang. tahun dimana presiden pilihan rakyat mulai memainkan perannya sebagai messiah yang beberapa bulan sebelumnya di puja dan di puji lewat media, akhirnya membebaskan lagi mereka yang terkekang puluhan tahun yang dulu mencari jati diri. tikus tikus got hingga anjing anjing pemburu penguasa orde baru  kini telah berubah menjadi kacung manis yang berusaha eksis di masa pemerintahan baru ini.
dosa memang ketika saya harus menuliskan hal ini, karena siapalah saya ? cuma anak kemarin. ketika aktivis sekaliber fajroel rahman di tangkap dan diasingkan rejim orba, saya masih menetek di pangkuan emak. tak masalah, setidaknya demokrasi liberal bisa di jadikan alasan kuat untuk menyangkal dosa dosa saya.

Kemarin saya terkejut membaca salah satu web yang pada akhir akhir ini saya buka, dan empunya membeberkan betapa bejadnya sejarah dari organisasi yang dulu dikenal dengan SMID dan sekarang berubah menjadi sebuah partai yaitu PRD. Konon, dulu ketika matahari demokrasi tak tampak maka di tandailah berdirinya sebuah organisasi bernama SMID ini.
keadaan indonesia pada waktu itu memang sedang kacau, dan kebetulan pada saat rejim seoharto berada di ujung tanduk SMID lahir sebagai salah satu ancaman kekuasaan. Saya geli dan merasa curiga ketika dia mengatakan kegarangan SMID pada waktu itu cuma mitos belaka. memang,saya agak kesulitan dalam mencari referensi mengenai sejarah berdirinya PRD ini, terakhir seorang kawan meminjamkan sebuah buku yang berjudul Orang-Orang yang berlawan kepada saya.
dan selebihnya cuma menengok Profil ucok homicide yang sempat menjadi aktivis PRD kemudian entah kenapa sekarang jalan sendiri.

Tak ada komunisme tanpa gerakan komunis – Mao

Komunisme. dalam beberapa dekade belakangan ini, jarang sekali terdengar kata tersebut. entah manis pahitnya sudah dilupakan, atau sekarang sudah berubah posisi menjadi “sosialisme’, atau yang lebih parah “Demokrasi liberal”. memang sejarah sangat berpengaruh atas setiap langkah bila hendak maju kedepan. begitu juga dalam hal perpolitikan bangsa indonesia. kata Sosialisme disini bukanlah kata yang dipakai oleh Marx untuk menuju sebuah komunisme. tapi, sosialisme disini adalah sosialisme yang bersatu dengan demokrasi borjuis.

Dulu, Tan malaka pernah tidak meyetujui perundingan antara indonesia dengan belanda untuk berdamai sehingga menempatkan posisi bangsa yang rela membayar kekalahan perang dan menjadi tanggungan anak cucu. beliau tidak menyetujui karena tujuan dari revolusi tidak untuk berdamai dengan penjajah.
Bagaimana menciptakan masyrakat yang kuat jika tidak dengan cara berjuang. mungkin jawaban soekarno pada saat itu cuma “lelah”, atau “aku tidak bisa diginiin”.
begitulah sekarang, resep perjuangan telah berubah. komunisme tidak lagi dijadikan sebagai senjata untuk perjuangan dengan cara radikal yang mengakhiri segala bentuk penindasan termasuk kapitalisme. harapan kita hanya mentok dengan perubahan sosial kecil kecilan dengan format kapitalisme itu sendiri, seperti perjuangan hak hak konsumen, dan perjuangan pemberatasan korupsi dll.

Jadi, perubahan komunisme ke sosialisme tersebut tidak hanya pada tata bahasa saja, melainkan pada feel dan mood. Tentu alasan ini tidak ada salahnya jika menelisik kembali apa yang terjadi pada aktivis komunis indonesia pada tahun 1965 – 1969. seolah olah, intelektual kiri masa kini mengurangi tingkat resiko menjadi lebih minim. dengan pengurangan resiko seperti itu maka dengan mudah sekali, bahkan lambat laun  ide sosialis tersebut dikonsumsi oleh kalangan kelas menengah indonesia. seperti halnya revolusi mental omong kosong ala jokowi dengan tingkat resiko terendah, namun dengan pencitraan yang super maksimal.

kelas menengah mana yang tidak suka ?

0 komentar:

Posting Komentar