Oleh: Raidah Athirah
Siapa menyangka dalam gigitan sepotong roti croissant yang tersohor
dengan serpihan renyah nan gurih, tersimpan sejarah pahit kekalahan
pasukan Turki Usmani dalam pertempuran di Wina. Kekalahan ini juga
menandai tertutupnya pintu ekspansi Islam di jantung Eropa. Beberapa
legenda kuliner lahir dari peristiwa ini salah satunya roti croissant.
Bahasa Perancis mengenal croissant dengan nama Viennoiserie.
Roti ini tiba di Perancis atas jasa Marie Antoinette yang merupakan
putri raja Austria yang menikah dengan Raja Perancis. Ia menjadikan roti
Croissant santapan pagi untuk mengingat sejarah bangsanya.
Legenda lain menyebutkan bahwa roti Croissant pertama kali dibuat di
Wina sebagai hadiah kepada raja Jan Sobieski atas kemenangannya
mengalahkan pasukan Turki Usmani.
Banyak dari kita menyangka bahwa roti yang berbentuk bulan sabit atau
disebut croissant ini berasal dari Perancis. Seperti kutipan dari
Anthony Bourdain;
"Food is everything we are. It's an extension of nationalist
feeling, ethnic feeling, your personal history, your province, your
region, your tribe, your grandma. It's inseparable from those from the
get-go.”
Perjalanan sejarah tentang roti lezat bernama croissant ini seperti
mewakili apa yang diucapkan Bourdain. Tentang rasa kebangsaan, etnik,
wilayah, kenangan keluarga serta rahasia sejarah. Seringkali rasa
penasaran membuat hati ini menelusuri kisah-kisah sejarah. Dan sampailah
pada kisah legenda sepotong roti croissant.
Croissant bukanlah kuliner baru di Eropa. Beberapa negara yang saling
bertaut sejarah telah mengenal nama Croissant seperti Kifli di Hungaria
yang berarti "memutar seperti bulan sabit, Kipferl di Jerman, di
Austria, Bosnia dan juga Serbia mengenal nama кифла / kifla. Di Rusia
disebut рогалик / rogalik. Ukraina menyebutnya рогалик / rohalyk.
Bulgaria dan Macedonia memiliki nama yang sama кифла / kifla, ro?ok di
Slovakia dan orang Polandia menyebut roti ini rogal atau rogalik.
Ketika kita ingin memahami sejarah secara utuh maka kita perlu
menyusun balok-balok pengetahuan ini menjadi satu. Dengan sendirinya
kita dapati rangkaian-rangkaian peristiwa masa lalu tergambar dengan
jelas.
Siapa menyangka dalam gigitan sepotong roti croissant
yang tersohor dengan serpihan renyah nan gurih, tersimpan sejarah pahit
kekalahan pasukan Turki Usmani dalam pertempuran di Wina. Kekalahan ini
juga menandai tertutupnya pintu ekspansi Islam di jantung Eropa...
Seperti halnya warung-warung kopi yang muncul, roti croissant juga
menceritakan tentang perang, kekalahan di pihak lawan, politik, serta
pernikahan. Ini yang menjadi perjalanan panjang sejarah sepotong roti
croissant.
Polandia di masa lalu merupakan rumah bagi tiga kerajaan yakni Rusia,
Prusia (sekarang Jerman) dan Austria. Di masa itu pembuat roti dari
Polandia sudah menjamur di Austria. Para pembuat roti terkenal sebagai
para pekerja keras yang terbiasa bekerja lebih awal dari kebanyakan
penduduk lainnya.
Kebiasaan bangun dan bekerja lebih awal ini menjadi pintu
(keberuntungan) para pasukan gabungan dari Prusia dan Polandia yang
dipimpin oleh Raja Jan III Sobieski yang mengalahkan ribuan tentara
Turki Usmani. Keberkahan waktu fajar mungkin tak dipahami oleh para
pembuat roti melainkan telah mendarah daging dalam diri mereka sebagai
orang-orang pekerja keras.
Pasukan Turki Usmani saat itu dipimpin oleh Kara Mustafa hampir saja
menguasai jantung Eropa. Para sejarawan barat menggambarkan Kara Mustafa
sebagai pemimpin perang yang brutal. Pada saat yang sama, sosok ini
juga dikagumi karena menjadikan hampir seluruh wilayah Eropa berada
dalam kekuasaan Turki Usmani. Inilah zaman yang menandai era penyebaran
Islam di jantung Eropa. Sayangnya, kegemilangan Islam ini tidak terlihat
dalam peta Eropa hari ini.
***
Para sejarawan barat menggambarkan Perang Wina sebagai 'Perang Takdir
' atas nasib Eropa. Dan takdir Eropa mengikuti sang kurir (pastry)
Franciszek Jerzy Kulczycki saat ia berlari meminta bantuan kepada Raja
Jan III di Warsawa. Selain sebagai kurir pastry, Kulczycki juga dikenal
sebagai seorang ahli bahasa, ( Ia menguasai bahasa Arab, Turki, Jerman,
Polandia dan Prancis) mata-mata, diplomat dan juga pahlawan bagi orang
Eropa.
Saat itu ia mendengar tapal kuda pasukan Turki Usmani semakin
mendekat. Pasukan Turki Usmani saat itu telah mengepung Austria dan
melahirkan ketakutan yang amat sangat.
Para sejarawan menggambarkan kepanikan para penduduk yang lari
termasuk raja Austria. Kepanikan itu tercermin dari bunyi lonceng gereja
yang bersahut-sahutan. Rumah-rumah pun dikosongkan dan para pendeta
khidmat memohon pertolongan Tuhan.
Ini adalah lambang kekalahan pasukan Turki Usmani
dengan pasukannya yang berlapis-lapis. Jadi saat mereka memakan roti
tersebut, hal ini mengingatkan mereka akan kekalahan tersebut dan
mengejek (saat menyantap croissant)...
Takdir tak berpihak kepada Kara Mustafa. Sang pembuat roti yang lari
ke Warsawa menginformasikan tentang kekuatan dan rencana pasukan Turki
Usmani yang sedang menggali tunel kepada Raja Polandia.
Austria adalah sekutu Polandia saat itu. Sejarah kekalahan Polandia
melawan Turki Usmani menjadikan informasi sang pembuat roti menjadi
momentum besar bagi Raja Jan III Sobieski. Sang raja pun mengumpulkan
pasukan militer yang merupakan gabungan dari para prajurit Polandia,
Prusia, dan Austria untuk berbalik mengepung pasukan Turki Usmani.
Puncak dari pertempuran ini adalah Perang di Wina yang terjadi pada
musim dingin di tahun 1683 dengan kekalahan paling pilu yang diingat
sejarah terhadap Kekaisaran Turki Usmani. Sang Jendral, Kara Mustafa
dihukum mati oleh Sultan Mehmed IV di Belgrade,Serbia atas kekalahan
paling pahit dan memalukan bagi Kekaisaran Turki Usmani.
Konon, untuk merayakan kemenangan ini para pembuat roti diberi
penghargaan. Mereka diperintahkan membuat roti yang mirip bulan sabit
dengan bentuk berlapis-lapis. Ini adalah lambang kekalahan pasukan Turki
Usmani dengan pasukannya yang berlapis-lapis. Jadi saat mereka memakan
roti tersebut, hal ini mengingatkan mereka akan kekalahan tersebut dan
mengejek ( saat menyantap croissant ):
"Kami telah menggigit pasukan Turki Usmani!"
Orang -orang bergembira dan merayakan dengan menjadikan sepotong roti croissant dalam santapan pagi di seluruh Eropa.
***
Setelah pertempuran berakhir warga Wina menemukan banyak karung kopi
di perkemahan Turki yang ditinggalkan. Dengan menggunakan kopi-kopi yang
ditinggalkan ini, Sang Kurir Franciszek Jerzy Kulczycki membuka warung
kopi ketiga di Eropa. Ini juga menandai era berdirinya warung kopi di
Eropa.
Ah! Mengingat sejarah terkadang pahit, meskipun demikian kita perlu
memahaminya untuk menggali hikmah yang terserak.
(
vic)
Polandia,18 Februari di Musim Dingin 2017
Diolah dari berbagai sumber