Sejarah Islam memiliki cerita
pertempuran yang hebat dan kemenangan perdana yang memesona atas musuh
mereka. Sejarah tak terbantahkan yang paling terkenal dari pertempuran
ini adalah Perang Badar, yang berlangsung di sebuah oasis barat daya
Madinah pada tahun 2 H atau 624 M.
Pada
tahun 622 M, Nabi Muhammad beserta sekitar seratus orang pengikutnya
pergi meninggalkan Mekah untuk menghindarkan diri dari gangguan dan
penyiksaan Musyrik Quraisy. Mereka menuju Yatsrib yang terletak di utara
Mekah. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Musyrik Quraisy berdiam diri.
Harta orang-orang Muslim yang masih berada di Mekah mereka rampas,
bahkan Musyrik Quraisy gencar melakukan ancaman dan rencana penyerangan.
Dalam kondisi seperti inilah, Allah mengizinkan orang-orang Muslim
berperang untuk mempertahankan diri dari musuh-musuh yang mengancam
mereka.
Setelah turunnya izin
berperang, tidak serta merta Nabi Muhammad mengadakan peperangan
terhadap Musyrik Quraisy yang saat itu masih sangat kuat. Langkah
pertama yang Nabi Muhammad lakukan adalah menguasai jalur perdagangan
Musyrik Quraisy antara Mekah dan Syam (mengganggu perekonomian Quraisy).
Perang
Badar terjadi karena Nabi Muhammad mengetahui kabar adanya kafilah
dagang Quraisy yang akan kembali dari Syam. Sebagaimana tradisi Quraisy
sebelumnya pada setiap musim gugur, di tahun 623 M (2 H) kafilah dagang
tahunan Quraisy berangkat dari Mekah menuju Syam. Rute yang biasa
ditempuh yaitu sepanjang pantai Laut Merah melintasi sekitar 80 mil
timur Madinah. Kafilah dagang musim gugur 624 tersebut terdiri dari
seribu ekor unta yang sarat dengan barang-barang perdagangan yang mahal.
Diperkirakan nilai kafilah dagang tersebut mencapai 50.000 dinar
(sekitar 105 Milyar rupiah). Kafilah tersebut berada di bawah komando
Abu Sufyan bin Harb, seorang pedagang penting yang merupakan salah satu
pemimpin oposisi terhadap Nabi Muhammad dan seorang perwira militer
berpengalaman yang memimpin kavaleri Mekah. Karavan itu diiringi penjaga
empat puluh orang.
Nabi Muhammad pun
dengan cermat merencanakan operasi ini agar meraih keberhasilan. Untuk
itu, beliau mengutus tim pengintai dan intelijen guna mengumpulkan
informasi yang diperlukan. Selanjutnya, beliau pun memerintahkan para
sahabat—yang jumlahnya sekitar sekitar tiga ratusan personil—untuk
berangkat.
Abu Sufyan sebagai seorang
yang berpengalaman mengambil sikap waspada. Saat mendekati daerah
Hijaz, Abu Sufyan mengirim seorang pengintai ke depan untuk mengintip
rute di depan dan untuk mengetahui aktivitas pasukan Islam. Tatkala
mengetahui adanya gerakan pasukan Islam, ia pun memutuskan berbelok
melewati rute tepi pantai, selain juga ia memutuskan untuk mengirim
seorang pengendara unta untuk memberikan peringatan dan meminta agar
orang-orang Mekah memobilisasi pasukan besar untuk mencegah serangan
Nabi Muhammad.
Berita yang diterima
oleh Musyrik Quraisy ibarat petir yang menyambar mereka. Oleh sebab itu,
pasukan Quraisy segera bergerak dan berusaha mengerahkan segala
kemampuan mereka. Dari sana, terhimpunlah sekitar seribu personil.
Hampir semua pemuka terlibat dalam pasukan tersebut.
Saat
tiba di lembah Zufran, pasukan Islam mendengar bahwa kafilah Abu Sufyan
berhasil lolos dari kejaran, sementara pasukan Quraisy telah bersiap
berperang. Di sinilah keimanan pasukan Islam diuji dan ketaatan mereka
kepada Nabi Muhammad dinilai. Menghadapi hal itu, beliau pun melakukan
musyawarah dengan para sahabatnya dari golongan Muhajirin dan terkhusus
dari kalangan Anshar. Keputusan bulat mereka yakni menghadapi pasukan
Musyrik Quraisy.
Tempat pertempuran
tersebut yaitu Badar. Pada pagi 17 Ramadhan, Nabi Muhammad mengatur
pasukannya sebagaimana barisan perang. Ini merupakan siasat baru dalam
peperangan yang bertentangan dengan kebiasaan orang-orang Arab.
Sementara pasukan Musyrik Quraisy masih menerapkan formasi konvensional.
Peperangan
diawali dengan dual satu lawan satu. Di pihak Musyrik Quraisy, majulah
Utbah bin Rabiah, Walid dan Syaibah. Sementara dari pasukan Islam
tampillah Hamzah, Ali dan Ubaidah bin Harits. Hasilnya, pihak Islam
berhasil mengalahkan musuh mereka. Setelah itu, terjadilah pertempuran
jarak dekat antara kedua pasukan.
Dengan
izin dan pertolongan Allah, perang pada akhirnya dimenangkan oleh
pasukan Islam. Pasukan Musyrik Quraisy banyak menderita kerugian. Tujuh
puluh orang di antara mereka terbunuh dan tujuh puluhan lagi tertawan,
yang kebanyakan mereka justru terdiri dari para pemuka dan pemimpin
mereka. Sementara korban dari pihak Islam berjumlah empat belas orang,
yang terdiiri dari enam orang kaum Muhajirin dan delapan orang dari kaum
Anshar.
Penduduk Mekah sangat shock mendengar
berita kekalahan tersebut. Hal itu menimbulkan efek buruk terhadap
kondisi mereka. Bahkan mereka melarang orang-orang yang keluarganya
terbunuh di Badar untuk meratapi mereka. Sementara penduduk Madinah
langsung mengekspresikan kemenangan pasukan Islam dengan melantunkan
takbir dan tahlil di mana-mana, sehingga bergemalah di Madinah suara
takbir dan tahlil. Kemenangan pasukan Islam di Badar merupakan
kemenangan politik strategis yang pertama dan terutama bagi umat Islam.
Apalagi tidak lama berselang dari kemenangan tersebut, hadirlah momen
paling mengesankan yaitu Idul Fitri pertama yang dijalani umat Islam
pada tahun 624 M, yang bertepatan setelah mereka memperoleh kemenangan
yang gemilang dalam perang Badar.
Spirit
utama Perang Badar adalah keberhasilan kelompok yang lemah mengalahkan
kelompok yang kuat dan perkasa melalui nikmat atau keputusan ilahi.
Sejarah tentang Perang Badar sangat mirip dengan kisah salah seorang
nabi Bani Israil, Daud, yang berhasil mengalahkan Jalut. Perang Badar
menegaskan bahwa kekuatan keilahian lebih besar daripada kekuatan
duniawi manapun, yang disampaikan melalui kisah kemenangan yang
menakjubkan. Orang-orang beriman yang berperang demi Tuhan, terlepas
dari siapa pun musuh yang melawan mereka, dapat mengalahkan orang-orang
yang berperang untuk tujuan lain, baik itu demi tujuan: bangsa, ras,
kepercayaan yang keliru, harta rampasan, atau penaklukan yang brutal.
Perang Badar juga secara fundamental mengubah sifat identitas komunal di
kalangan umat Islam. (A. Sadikin).
Sumber : Syamina.org
0 komentar:
Posting Komentar